lagu

Saturday, January 16, 2016

Cinta Beda Kasta

Sore di dalam bus trans, aku memandangi hiruk-pikuk kota Semarang. Kemacetan panjang akibat pembuatan jalan yang tak kunjung selesai membuat pemakai jalan mau tak mau harus merasa jenuh. Ditambah lagi bersamaan dengan waktu pulang para pekerja, sungguh sore yang tidak menyenangkan hati.
“Dee,” panggilnya sembari mencolek lenganku ketika melihat wajahku yang  mulai muram. Ia, gadis yang duduk disampingku yang berpostur tubuh tinggi namun agak gemuk, berkulit sawo matang, mempunyai rambut bergelombang, serta wajah dengan pipi merona alami. Namanya Dien, teman karibku sejak kelas sepuluh. Kami pernah terpisah ketika naik ke kelas sebelas. Sekarang, Tuhan menyatukan kami kembali di kelas dua belas, tepatnya dua belas Albert.
Aku sungguh tak menyangka bisa menjadi teman sekelasnya kembali di akhir masa putih abu-abu. Katanya, masa seperti ini adalah waktu yang paling berkesan dan memberi kenangan di masa depan. Aku tahu, persahabatanku dengan Dien akan menjadi salah satu kenangan sekolahku yang indah. Dan, satu hal lagi yang sepertinya akan membuat kenangan sekolahku kurang sempurna jika aku lupakan, yaitu cinta. Sebenarnya, aku sudah mempunyai cerita cinta abu-abu yang tak kalah sensasional dibandingkan drama-drama Korea.
Naksir guru. Iya, aku menyukai seorang guru muda bertubuh  tinggi kurus nan tampan dan juga jenius. Ini adalah cerita yang paling konyol, menurut ibu dan teman-temanku. Tapi aku tak peduli. Dua tahun lebih aku menyukainya, dan aku tak pernah berani mengutarakan. Tapi aku tahu, beliau mengerti rasa sukaku itu. Beliau menghargai perasaanku dengan sikapnya yang baik, meskipun aku bukan muridnya yang cantik ataupun pintar. Sikap baiknya itulah yang akhirnya membuatku salah tanggap dan semakin menyukainya. Ditambah dengan tingkahnya yang terkadang menggelikan seperti anak kecil membuatku terus memikirkannya. Tiap tingkahnya terekam dalam otakku, dan itu terputar  berulang kali. Setiap saat, membuatku terus tertawa senang dalam hati. Jauh tidak seperti tingkah-tingkah konyolnya, sikapnya begitu dewasa dan mengesankan. Aku begitu terkagum dengan caranya menyikapi segala sesuatu.
Sayang, perasaanku tak seterusnya menyenangkan. Beliau memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai guru sekolahku, tepat setelah pengumuman kenaikan kelas.
Sesampainya di kelas dua belas, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Setiap malam aku menguntit dinding facebook dan twitternya, tetapi hasilnya selalu mengecewakan. Tiada yang berubah dari isi kedua akun jejaring sosialnya itu. Meskipun begitu, aku belum bisa melupakannya dengan pasti.  Aku terus saja berharap rasa sukaku terbalas.
Lama-lama rasa suka itupun membuatku jenuh. Aku tidak lagi tahan untuk menyukai seseorang yang tak lagi nyata bagiku. Aku memulai usaha untuk melangkah darinya. Hingga seseorang yang lain itu datang. Namanya Ridlo. Kegigihannya mendekatiku  meskipun aku terkesan cuek membuatku salut. Terlebih di masa move on seperti itu, dia benar mampu meraih hatiku. Caranya mendekatiku sungguh berbeda dengan yang lain. Dia tidak begitu blak-blakan ataupun to the point mengungkapkan perasaannya. Dia tak pernah merayu, hanya memberikan kesan perhatian yang tidak berlebihan. Taktik tarik ulurnya pun semakin membuatku jatuh hati. Rupanya dia tahu bahwa aku tipikal gadis yang menyukai lelaki agak cuek.
Akhirnya kami memutuskan untuk berpacaran setelah beberapa bulan masa pendekatan. Aku sempat menjalin friendzone dengannya dan itupun sesaat saja. Berpacaran dengan Ridlo begitu mengesankan dibandingkan dengan masa-masa single yang penuh dengan tekanan karena rasa suka yang terpendam. Meskipun hanya bertemu dalam sms, aku merasa begitu dekat dengannya. Dia memang jarang menelponku, tetapi itu bukan masalah. Karena tiap kami berbicara lewat telepon, aku selalu gugup dan kehilangan ide untuk membuka materi perbincangan. Setelah aku mengenalnya lebih dekat, ternyata kecuekannya yang terlihat sejak masa pendekatan memanglah watak aslinya. Meskipun telah berbulan-bulan pacaran, ia belum pernah  sekalipun membuat kata-kata gombal untukku. Bahkan ia mengucapkan kata sayang hanya sekali, itupun saat menembakku. Ridlo begitu berbeda dari lelaki lain yang pernah berpacaran denganku.  Dan perbedaan itu begitu memikatku.
“ngelamunnya nggak usah segitunya juga kali!”, Dien membangunkanku dari lamunan. “mending ngobrol syahdu sama aku aja.”, sambungnya sembari tersenyum lebar. Dien pun mulai bercerita ini-itu. Aku mendengarkannya dengan antusias. Dan, sampailah  ceritanya pada kisah cinta Dien, sahabatku itu. Ia mempunyai seorang pacar yang amat membuatnya nyaman, meskipun hubungannya harus berjalan dengan cara backstreet. Orangtuanya melarang Dien untuk berpacaran di usia muda. Sedihnya, beberapa hari lalu ibunya mengetahui akan hubungan itu. Agaknya ibu dien marah, bukan hanya karena ia melanggar aturan, tetapi juga karena materi. Keluarga dari pacarnya tergolong biasa saja. Ibu Dien bilang, keluarga terhormat seperti mereka tidak pantas mempunyai menantu dari golongan bawah. Terdengar sadis. Tapi itulah adanya. Dan aku tak bisa membayangkan andai aku berada dalam posisi pacar Dien saat itu.
**
Rasanya hari itu penuh tekanan karena kemacetan. Sesampainya di halte sudah hampir petang. Aku bergegas ke pinggir trotoar sembari berharap masih ada angkot yang mencari pelanggan.
“alhamdulillah”, sebuah angkot melaju ke arahku. Aku terkejut ketika masuk ke dalam angkot kumuh itu. Ada sosok yang sepertinya pernah aku kenal. Ya, aku ingat! Dia adalah teman sekolahku dulu. Namanya Zaid, kami satu angkatan di SMP tetapi tak pernah satu kelas. Kami pun berbincang-bincang mengulang kenangan di masa dulu. Sungguh, bertemu dengannya membuat penatku agak luntur.
“kamu pacaran sama Ridlo? Nggak nyangka banget aku.” Katanya tiba-tiba. Aku tercengang mendengarnya, karena selama ini aku sedikit tertutup dengan hubunganku dan Ridlo.
 “iya, kenapa?” jawabku.
“asik ya punya pacar anak orang kaya. Hehe.” Sambungnya.
“apa?” tanyaku setengah tak percaya.
Kami melanjutkan perbicangan dengan tanya jawabku mengenai kalimatnya yang mengejutkanku tadi. Aku tidak pernah menyangka akan hal itu. Ridlo sama sekali tak pernah bercerita tentang keluarganya. Sama halnya dengan aku. Aku tak pernah menceritakan kehidupanku karena ia tak pernah menanyakannya sejauh itu.
Sejak saat itu, hari-hariku bersama Ridlo terasa gelap. Tidak lagi menyenangkan. Bukan karena kami sedang bertengkar, tetapi karena cerita Zaid dan Dien yang saat itu saling berkaitan. Sejujurnya, selama ini aku tak pernah pergi berkencan dengan Ridlo. Aku merasa belum siap. Aku merasa sangat kalah dibandingkan banyak gadis diluar sana. Terkadang aku pun iri dengan Dien. Aku hanya seorang Dee yang tidak cantik, agak gemuk, berjerawat, rambutku keriting mengembang, hanya saja tubuhku tinggi dan kulitku agak cerah. Akupun tidak dapat tampil modis. Bukan karena aku tak tahu gaya,melainkan karena aku bukan anak orang kecukupan. Tetapi aku terus berusaha sedikit-demi sedikit untuk memperbaiki penampilanku demi Ridlo, dan itu begitu sulit. Aku merasa keadaanku begitu salah. Sebelumnya itu tak begitu menjadi beban kehidupanku. Namun setelah aku berpacaran, rasanya semua itu terasa berat. Aku terlalu menuntut  untuk melampaui diriku sendiri, orang bilang aku buta karena cinta. Entah, yang pasti aku ingin sempurna di mata Ridlo. Aku begitu takut kehilangannya, meski pada akhirnya pun aku harus ditinggalkan.
Cinta beda kasta. Aku sering mendengar kalimat itu, dan sekarang hal itu terjadi padaku. Aku tahu Ridlo tak mempedulikannya, tapi bagaimana jika orangtuanya tahu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana muka orangtuaku nanti. Mungkin mereka akan malu dihina orang karena anaknya yang tidak tahu diri berpacaran dengan anak orang kaya. Mungkin kami akan dicaci maki hingga tulang kami keropos.
Sejak saat itu aku mulai mencoba untuk melupakan Ridlo. Meskipun aku masih terlihat baik-baik saja dengannya, jauh dibelakang aku telah menghapusnya perlahan dari hatiku. Aku berharap kisah cintaku dengannya berakhir dengan cara yang baik meskipun menyakitkan. Aku telah membayangkan bagamana ketika kami putus hubungan nanti. Kami akan terpisah semata-mata karena harta orangtuanya. Dan, mungkin hal itu akan menjadi kenangan yang mengesankan bagiku, dimana aku berkorban hati demi kebaikannya dan kebaikan orangtuaku.

Sayang, ternyata sakit itu tak seindah yang aku bayangkan. Jauh lebih sakit. Belum sempat aku meminta mengakhiri hubungan kami, malah dia yang meninggalkan aku begitu saja. Sadis. Dia pergi tanpa kata putus, maaf, atau apapun. Dia hilang tanpa kabar, tanpa ada masalah yang jelas sebelumnya. Sekarang aku sadar, kecuekannya selama ini  bukan karena watak aslinya. Melainkan karena aku hanya mainannya. Aku begitu penasaran dengan hadiah yang ia dapatkan karena telah berhasil mempermainkanku. Dia adalah pemain yang tangguh. Anak orang kaya yang begitu handal mempermainkan gadis miskin sepertiku. Memang benar, cinta beda kasta adalah sebuah hal yang salah. Aku menyukainya dengan tulus, sedang dia dengan caranya yang begitu sadis.Kenangan akhir sekolah yang mengesankan untuk ditangisi.







note : cerpen ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi saya. thanks for reading :)