Sore
di dalam bus trans, aku memandangi hiruk-pikuk kota Semarang. Kemacetan panjang
akibat pembuatan jalan yang tak kunjung selesai membuat pemakai jalan mau tak
mau harus merasa jenuh. Ditambah lagi bersamaan dengan waktu pulang para
pekerja, sungguh sore yang tidak menyenangkan hati.
“Dee,”
panggilnya sembari mencolek lenganku ketika melihat wajahku yang mulai muram. Ia, gadis yang duduk disampingku
yang berpostur tubuh tinggi namun agak gemuk, berkulit sawo matang, mempunyai
rambut bergelombang, serta wajah dengan pipi merona alami. Namanya Dien, teman
karibku sejak kelas sepuluh. Kami pernah terpisah ketika naik ke kelas sebelas.
Sekarang, Tuhan menyatukan kami kembali di kelas dua belas, tepatnya dua belas
Albert.
Aku
sungguh tak menyangka bisa menjadi teman sekelasnya kembali di akhir masa putih
abu-abu. Katanya, masa seperti ini adalah waktu yang paling berkesan dan
memberi kenangan di masa depan. Aku tahu, persahabatanku dengan Dien akan
menjadi salah satu kenangan sekolahku yang indah. Dan, satu hal lagi yang
sepertinya akan membuat kenangan sekolahku kurang sempurna jika aku lupakan,
yaitu cinta. Sebenarnya, aku sudah mempunyai cerita cinta abu-abu yang tak
kalah sensasional dibandingkan drama-drama Korea.
Naksir
guru. Iya, aku menyukai seorang guru muda bertubuh tinggi kurus nan tampan dan juga jenius. Ini
adalah cerita yang paling konyol, menurut ibu dan teman-temanku. Tapi aku tak
peduli. Dua tahun lebih aku menyukainya, dan aku tak pernah berani
mengutarakan. Tapi aku tahu, beliau mengerti rasa sukaku itu. Beliau menghargai
perasaanku dengan sikapnya yang baik, meskipun aku bukan muridnya yang cantik
ataupun pintar. Sikap baiknya itulah yang akhirnya membuatku salah tanggap dan
semakin menyukainya. Ditambah dengan tingkahnya yang terkadang menggelikan
seperti anak kecil membuatku terus memikirkannya. Tiap tingkahnya terekam dalam
otakku, dan itu terputar berulang kali.
Setiap saat, membuatku terus tertawa senang dalam hati. Jauh tidak seperti
tingkah-tingkah konyolnya, sikapnya begitu dewasa dan mengesankan. Aku begitu
terkagum dengan caranya menyikapi segala sesuatu.
Sayang,
perasaanku tak seterusnya menyenangkan. Beliau memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya sebagai guru sekolahku, tepat setelah pengumuman kenaikan kelas.
Sesampainya
di kelas dua belas, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Setiap malam aku
menguntit dinding facebook dan twitternya, tetapi hasilnya selalu mengecewakan.
Tiada yang berubah dari isi kedua akun jejaring sosialnya itu. Meskipun begitu,
aku belum bisa melupakannya dengan pasti.
Aku terus saja berharap rasa sukaku terbalas.
Lama-lama
rasa suka itupun membuatku jenuh. Aku tidak lagi tahan untuk menyukai seseorang
yang tak lagi nyata bagiku. Aku memulai usaha untuk melangkah darinya. Hingga
seseorang yang lain itu datang. Namanya Ridlo. Kegigihannya mendekatiku meskipun aku terkesan cuek membuatku salut.
Terlebih di masa move on seperti itu,
dia benar mampu meraih hatiku. Caranya mendekatiku sungguh berbeda dengan yang
lain. Dia tidak begitu blak-blakan ataupun to
the point mengungkapkan perasaannya. Dia tak pernah merayu, hanya
memberikan kesan perhatian yang tidak berlebihan. Taktik tarik ulurnya pun
semakin membuatku jatuh hati. Rupanya dia tahu bahwa aku tipikal gadis yang
menyukai lelaki agak cuek.
Akhirnya
kami memutuskan untuk berpacaran setelah beberapa bulan masa pendekatan. Aku
sempat menjalin friendzone dengannya
dan itupun sesaat saja. Berpacaran dengan Ridlo begitu mengesankan dibandingkan
dengan masa-masa single yang penuh
dengan tekanan karena rasa suka yang terpendam. Meskipun hanya bertemu dalam
sms, aku merasa begitu dekat dengannya. Dia memang jarang menelponku, tetapi
itu bukan masalah. Karena tiap kami berbicara lewat telepon, aku selalu gugup
dan kehilangan ide untuk membuka materi perbincangan. Setelah aku mengenalnya
lebih dekat, ternyata kecuekannya yang terlihat sejak masa pendekatan memanglah
watak aslinya. Meskipun telah berbulan-bulan pacaran, ia belum pernah sekalipun membuat kata-kata gombal untukku.
Bahkan ia mengucapkan kata sayang hanya sekali, itupun saat menembakku. Ridlo
begitu berbeda dari lelaki lain yang pernah berpacaran denganku. Dan perbedaan itu begitu memikatku.
“ngelamunnya
nggak usah segitunya juga kali!”, Dien membangunkanku dari lamunan. “mending
ngobrol syahdu sama aku aja.”, sambungnya sembari tersenyum lebar. Dien pun
mulai bercerita ini-itu. Aku mendengarkannya dengan antusias. Dan, sampailah ceritanya pada kisah cinta Dien, sahabatku
itu. Ia mempunyai seorang pacar yang amat membuatnya nyaman, meskipun
hubungannya harus berjalan dengan cara backstreet. Orangtuanya melarang Dien untuk
berpacaran di usia muda. Sedihnya, beberapa hari lalu ibunya mengetahui akan
hubungan itu. Agaknya ibu dien marah, bukan hanya karena ia melanggar aturan,
tetapi juga karena materi. Keluarga dari pacarnya tergolong biasa saja. Ibu
Dien bilang, keluarga terhormat seperti mereka tidak pantas mempunyai menantu
dari golongan bawah. Terdengar sadis. Tapi itulah adanya. Dan aku tak bisa
membayangkan andai aku berada dalam posisi pacar Dien saat itu.
**
Rasanya
hari itu penuh tekanan karena kemacetan. Sesampainya di halte sudah hampir
petang. Aku bergegas ke pinggir trotoar sembari berharap masih ada angkot yang
mencari pelanggan.
“alhamdulillah”,
sebuah angkot melaju ke arahku. Aku terkejut ketika masuk ke dalam angkot kumuh
itu. Ada sosok yang sepertinya pernah aku kenal. Ya, aku ingat! Dia adalah
teman sekolahku dulu. Namanya Zaid, kami satu angkatan di SMP tetapi tak pernah
satu kelas. Kami pun berbincang-bincang mengulang kenangan di masa dulu.
Sungguh, bertemu dengannya membuat penatku agak luntur.
“kamu
pacaran sama Ridlo? Nggak nyangka banget aku.” Katanya tiba-tiba. Aku
tercengang mendengarnya, karena selama ini aku sedikit tertutup dengan
hubunganku dan Ridlo.
“iya, kenapa?” jawabku.
“asik
ya punya pacar anak orang kaya. Hehe.” Sambungnya.
“apa?”
tanyaku setengah tak percaya.
Kami
melanjutkan perbicangan dengan tanya jawabku mengenai kalimatnya yang
mengejutkanku tadi. Aku tidak pernah menyangka akan hal itu. Ridlo sama sekali
tak pernah bercerita tentang keluarganya. Sama halnya dengan aku. Aku tak
pernah menceritakan kehidupanku karena ia tak pernah menanyakannya sejauh itu.
Sejak
saat itu, hari-hariku bersama Ridlo terasa gelap. Tidak lagi menyenangkan.
Bukan karena kami sedang bertengkar, tetapi karena cerita Zaid dan Dien yang
saat itu saling berkaitan. Sejujurnya, selama ini aku tak pernah pergi
berkencan dengan Ridlo. Aku merasa belum siap. Aku merasa sangat kalah dibandingkan
banyak gadis diluar sana. Terkadang aku pun iri dengan Dien. Aku hanya seorang
Dee yang tidak cantik, agak gemuk, berjerawat, rambutku keriting mengembang,
hanya saja tubuhku tinggi dan kulitku agak cerah. Akupun tidak dapat tampil
modis. Bukan karena aku tak tahu gaya,melainkan karena aku bukan anak orang
kecukupan. Tetapi aku terus berusaha sedikit-demi sedikit untuk memperbaiki penampilanku
demi Ridlo, dan itu begitu sulit. Aku merasa keadaanku begitu salah. Sebelumnya
itu tak begitu menjadi beban kehidupanku. Namun setelah aku berpacaran, rasanya
semua itu terasa berat. Aku terlalu menuntut
untuk melampaui diriku sendiri, orang bilang aku buta karena cinta. Entah,
yang pasti aku ingin sempurna di mata Ridlo. Aku begitu takut kehilangannya,
meski pada akhirnya pun aku harus ditinggalkan.
Cinta
beda kasta. Aku sering mendengar kalimat itu, dan sekarang hal itu terjadi padaku.
Aku tahu Ridlo tak mempedulikannya, tapi bagaimana jika orangtuanya tahu? Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana muka orangtuaku nanti. Mungkin mereka akan
malu dihina orang karena anaknya yang tidak tahu diri berpacaran dengan anak
orang kaya. Mungkin kami akan dicaci maki hingga tulang kami keropos.
Sejak
saat itu aku mulai mencoba untuk melupakan Ridlo. Meskipun aku masih terlihat
baik-baik saja dengannya, jauh dibelakang aku telah menghapusnya perlahan dari
hatiku. Aku berharap kisah cintaku dengannya berakhir dengan cara yang baik
meskipun menyakitkan. Aku telah membayangkan bagamana ketika kami putus
hubungan nanti. Kami akan terpisah semata-mata karena harta orangtuanya. Dan,
mungkin hal itu akan menjadi kenangan yang mengesankan bagiku, dimana aku
berkorban hati demi kebaikannya dan kebaikan orangtuaku.
Sayang,
ternyata sakit itu tak seindah yang aku bayangkan. Jauh lebih sakit. Belum
sempat aku meminta mengakhiri hubungan kami, malah dia yang meninggalkan aku
begitu saja. Sadis. Dia pergi tanpa kata putus, maaf, atau apapun. Dia hilang
tanpa kabar, tanpa ada masalah yang jelas sebelumnya. Sekarang aku sadar,
kecuekannya selama ini bukan karena
watak aslinya. Melainkan karena aku hanya mainannya. Aku begitu penasaran
dengan hadiah yang ia dapatkan karena telah berhasil mempermainkanku. Dia
adalah pemain yang tangguh. Anak orang kaya yang begitu handal mempermainkan
gadis miskin sepertiku. Memang benar, cinta beda kasta adalah sebuah hal yang
salah. Aku menyukainya dengan tulus, sedang dia dengan caranya yang begitu
sadis.Kenangan akhir sekolah yang mengesankan untuk ditangisi.
note : cerpen ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi saya. thanks for reading :)